Apakah kamu termasuk orang yang moody-an ??
Keunikan Mood
Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah
mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan
bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia
misalnya,mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung
secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika
seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab
yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira.
Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya
seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya
saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.
Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita
dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah
keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi
yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi
yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood bisa berlangsung
dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap
mempengaruhi gairahnya untuk melakukan sesuatu atau bahkan bisa
mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke
urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang
biasa. Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.
Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang
sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita
sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan
oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita
raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody).
Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah
menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba
membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang
sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil
keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya
ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit
dipegang.
Mood Disorder
Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab
disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak
sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood
Disorder: 2003), menjelaskan bahwaMood Disorder itu merupakan sisi ekstrim
yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu,
misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation).
Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk
kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin
menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian
teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan
diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain
adalah:
Apakah perubahan mood itu sudah
benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya
ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang
berguna buat kita hingga fatal?
Apakah perubahan mood itu sudah
benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang
harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang “EGP” (Emang Gue Pikiran)
terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi, atau tugas
sebagai orangtua?
Apakah perubahan mood itu sudah
membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara
misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau
SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?
Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.
Gaya Hidup Depresif
Apa
yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita
alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang
terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang
berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya.
Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan
munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup
depresif. Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah
stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif. Dalam
prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang
sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.
Depresi yang sifatnya respondent umumnya
dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya
ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan
yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang
menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan
berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya
praktek hidup, depresi yangrespondent umumnya diketahui sebab-sebabnya
atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup.
Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung
dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban,
tekanan, dan ancaman.
Untuk
menelaan apakah praktek hidup kita sehari-hari sudah diliputi berbagai beban,
tekanan, dan ancaman yang depresif itu, mungkin gejala umum di bawah ini dapat
kita jadikan acuan:
Menurunnya
energi untuk melakukan sesuatu, bad mood.
Sulit
berpikir atau berkonsentrasi sehingga membuat kita lupa atau tidak menyadari
tanggung jawab, dari mulai yang sepele, katakanlah seperti lupa membayar
makanan yang kita ambil, dan semisalnya
Inginnya
tidur terus atau sulit tidur, ingin makan terus atau sulit makan
Tidak care lagi
terhadap urusan penampilan, misalnya acak-acakan
Sulit
mengambil keputusan atau cepat berubah-ubah keputusannya (tidak bisa dipegang)
Mengalami
kelambanan psikomotorik, seperti ngomongnya sepenggal-sepengal, lamban
meresponi sesuatu, atau males ngomong
Berpikir
secara tidak sehat mengenai kematian
Membebaskan Diri Dari Depresi
Di literaturnya, memang banyak pernyataan ahli
yang mengingatkan agar kita tidak cepat berkesimpulan bahwa perubahaan mood
yang sudah menciptakan gangguan itu murni karena depresi. Untuk mengetahui
sebab-sebab yang spesifik, diperlukan pendalaman oleh tenaga ahli. Dan itu
umumnya butuh waktu. Tapi, hampir semua sepakat bahwa depresi dapat membuat
seseorang lebih sering dikendalikan oleh suasana batin dalam mengambil
keputusan sehingga layak bisa dibilang mut-mutan. Karena batin kita sedang
depresif, maka keputusan kita pun mencerminkan gejala-gejala depresi seperti di
atas. Misalnya tidak konsentratif, tidak bergairah untuk bertanggung jawab, dan
seterusnya.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar depresi
itu tak sampai membuahkan kebiasaan moody? Akan dibilang sombong jika kita
berpikir sanggup mengantisipasi peristiwa depresif seratus persen. Banyak
peristiwa menyakitkan yang tak sanggup diantisipasi oleh manusia atau oleh
negara sekali pun, misalnya bencana. Ada bencana yang karena ulah manusia,
tetapi ada yang karena sudah maktub (tertulis).
Karena itu, selain memang perlu mengantisipasi,
kita pun perlu melakukan mekanisasi (menciptakan mekanisme
pertahanan-diri) untuk menghadapi peristiwa yang sudah tak bisa diantisipasi.
Mekanisme ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu:
- Mekanisme eksternal
- Mekanisme internal
Katakanlah kita kini merasakan situasi kantor
atau rumah tangga yang benar-benar depresif dan sebab-sebabnya sudah ruwet,
seperti benang kusut. Mekanisme eksternal yang bisa kita lakukan antara lain:
mengatur (to manage), mengubah, memperbaiki, atau pindah ke situasi baru.
Tapi ini men-syaratkan kemampuan, kemantapan, dan tangggung jawab. Jika
itu belum sanggup kita jalankan, maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan
mekanisme internal. Jumlah dan bentuk mekanisme internal yang diciptakan Tuhan
untuk mempertahankan hidup itu sangat tak terbatas, dari mulai menciptakan
interpretasi baru, opini baru, definisi baru, makna baru, refleksi baru, sikap
baru dan seterusnya.
Mekanisme internal itu intinya adalah upaya kita
menciptakan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang membuat kita menjadi lebih
kuat dan lebih tercerahkan. Mekanisme internal ini bahkan lebih berperan
ketimbang mekanisme eksternal dalam mengkondisikan seseorang menjadi depresi
atau tidak. Dalam prakteknya, belum tentu orang yang di penjara itu lebih
depresif ketimbang orang yang bebas. Belum tentu orang yang namanya dan
gambarnya dijadikan sasaran tudingan dan hinaan di media atau demo itu lebih
depresif. Bisa ya dan bisa tidak, atau bahkan malah bisa semakin matang,
tergantung mekanisme internalnya.
Yang perlu kita jauhi bersama adalah, sudah kita
belum mampu menciptakan mekanisme eksternal (karena soal berbagai cost),
menciptakan mekanisme internal yang gratis pun tidak kita ciptakan. Atau malah
membangun mekanisme internal yang semakin men-depresi-kan diri sendiri hingga
membuat kualitas keputusan hidup kita menurun drastis atau mut-mutan melulu.
Memang, mekanisme internal itu muncul dari sekian dukungan, mungkin nilai,
ilmu, informasi, dan yang terpenting lagi adalah latihan (proses dan prosesi).
Semua
dukungan itu hanya akan kita dapatkan setelah ada pondasi yang kuat, yaitu:
- Munculnya dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik
- Menyadari adanya kebutuhan untuk berubah.
Jika dua hal ini tidak ada, mungkin semua pintu akan tertutup. Dari laporan penelitian beberapa ahli diakui bahwa yang membuat orang tak kunjung bisa menguasai mood-nya adalah karena orang itu tidak menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah dirinya. Bahkan mungkin merasa itulah yang benar.
Berpikir Hidup Ini Hanya Sekali
Tidak semua perubahan hidup yang kita nilai
sangat fundamental itu harus dimulai dari pemikiran yang canggih, pintar, dan
kompleks. Itulah hebatnya keadilan Tuhan. Adakalnya bisa dimulai dari pemikiran
yang sederhana, yang tidak hanya diketahui oleh para profesor, dan mungkin
salah. Contohnya adalah berpikir “Hidup ini hanya sekali”. Untuk kita, ini
salah karena hidup itu dua kali, tidak ada kalimat yang canggih di situ,
dan tak ada teori yang melatarbelakanginya. Tapi, jika kita berhasil menggunakannya
untuk mengantisipasi munculnya gaya hidup yang depresif, hasilnya akan canggih.
Dengan berpikir seperti itu, kita akan segera sadar, untuk apa kita membiarkan
diri larut dan hanyut ke dalam gaya hidup yang depresif, wong hidup
hanya seperti mampir ngombe (numpang minum) saja? Kenapa nggak kita
nikmati saja hidup yang hanya sekali ini dengan sekian mekanisme yang bisa kita
buat? “Gitu aja kok repot?”, mengenang ucapan Gus Dur semasa masih hidup.
Komentar
Posting Komentar