Biografi Ibnu Tufail

IBNU 
TUFAIL 

( Lahir tahun 1105 dan wafat tahun 1185)


http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR0y_V5kBmcE4hDBD-yRW4v0lZvIQGQUXx_mKlBNEG_gXITDalk

  




1.     Riwayat hidup Ibnu Tufail

Nama lengkap Ibnu Tufail ialah Abu bakar Muhammad ibn Abd Al malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufail, dalam tulisan, abudecer. Ia adalah pemuka pertama dalam pemikiran filosofis mawahhid yang berasal dari spanyol. Ibnu tafail lahir pada abad VI H/XIII M di kota guadix, propinsi Granada. keturunan Ibnu Tufail termasuk keluarga suku arab yang terkemuka, yaitu suku qois.
Karier Ibnu Tufail bermula sebagai dokter praktik di Granada.karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia di angkat menjadi sekretaris gubenur di propensi itu.
Pada tahun 1154 M ( 549). Ibnu Tufail menjadi sekretaris pribadi gubernur ceuta dan tangier, pengusaha muwahhid spanyol pertama yang merebut maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi dan menjadi qhadi di pengadilan pada kholifah Mawahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580 H./ 1184 M ).
Ibnu Tufail adalah seorang dokter, filosof, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari mawahhid spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang di kenal orang. Ibnu Khotib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengubatan itu sebagai karyanya.Al Bitruji (muridnya) dan ibnu rusyd percaya bahwa dia memiliki gagasan-gagasan astonomis asli. Al bitruji membuat sangkalan atas teori ptolemeos mengenai epicycles dan eccentric cirles, yang dalam kata pengantar dari karyanya kitab Al Hai’ah dikemukakannya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Tufail.
Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibn Abi usaibiah menganggap fi al buqa’Al maskunah wal-ghair Al maskunah sebagai karya Ibnu Tufail, tapi dalam catatan ibnu rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat ditemukan. Al marrakushi, yang ahli sejarah itu mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan. Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada:risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini ber bentuk naskah.kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hamya merupakan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hay Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.

2.       Karya-Karya Ibnu Tufail

1) Teori-teori     : Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan, yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (marifatullah). Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.


Sifat Allah itu pada dua kelompok:
Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim) sebagaimana paham mu’tazilah.
Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.
Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal.
Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antropomorfosis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang agama agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki.
Walaupun Ibnu Thufail menyadari tingkatan akal manusia itu berbeda-beda Roman Hayy Ibn Yaqzhan: “Hayy pun menjadi tahu akan tingkatan-tingkatan manusia. Ia dapati” tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). “mereka menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Ilah mereka. Dan mereka sama halnya seperti hewan yang tak berpikir. Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam), hal ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Ghazali.


2)      Judul buku  : Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah.
                     Fii al-Buqa’i al-Maskunah wa al-Ghiru al-Maskunah.

3.      Ajaran/pandangan
·         Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-nya?dalam filsafat muslim, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana kant.tidak seperti pendahulunya, tidak menganut salah satu doktrin saingannyapun dia tidak berusaha mendamaikan mereka.di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas.
Eksistensi seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dank arena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Al-Ghazali, mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemujudan sebelum ketidak mujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemujudan dunia di kesampingkan.lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-nya? tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-nya.apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-nya? tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut?
Karena itu Ibnu Tufail menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini. 

·         Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tidak bisa maujud dengan sendirinya.juga sang pencipta bersifat immaterial,sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia di ciptakan oleh satu pencipta.di pihak lain, anggapan bahwa tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduranyang tiada akhir yang adalah musykil.oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda.dan karena dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenalinya lewat indra kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinisasi hanya menggambarkan hal-haldi tangkap oleh indra.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga,dan gerak sebagaimana di katakan oleh arestoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efesien dari gerak itu.jika penyebab efesien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas.oleh sebab itu penyebab efesien dari gerak kekal harus bersifat immaterial.ia tidak boleh di hubungkan dengan materi ataupun di pisahkan darinya,ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu,sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material,sedang penyebab efesien itu,sesungguhnya lepas dari itu semua. 

·         Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang menoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya mata hari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cerminitu.
Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya didalam kosmos.

·         Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang menoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya mata hari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cerminitu.
Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya didalam kosmos.

·         Epistimologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nayata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaan antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasab keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ektasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan m,engal;ami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indar, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri.esensi dan visinya adalah sama.

·         Etika dan akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda angkasa dan tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan pada objek-objek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
      Ibu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, ia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupu yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari kenginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi dirin sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudan dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.

Sumber:
                     http://mubhar.wordpress.com/2009/02/07/filsaafat-ibnu-thufail/

Komentar

  1. alhmdulillah,,, makasih tulisannya,
    bermanfaat.. ^_^ salam kenal

    BalasHapus
  2. sama-sama putra. salam kenal juga ya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer